Kamis, 18 Februari 2010

Radar Lapan di Kototabang

Kamis, 18 Februari 2010 |
Pada 26 Juni 2001 LAPAN telah mengoperasikan radar VHF (Very High Frequency)terbesar dan terlengkap untuk kawasan ekuator setelah MST(Mesosphere-Stratosphere Troposphere)radar yang ada di Jicamarca (Peru), dan India yang bernama Equatorial Atmosphere Radar (EAR) atau yang lebih dikenal sebagai Radar Atmosfer Khatulistiwa (RAK). Radar yang dibangun dalam payung kerja sama antara Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) dan Radio Science Center for Space and Atmosphere (RASC), Universitas Kyoto, Jepang,telah dimulai pengoperasiannya sejak tanggal 26 Juni 2001 setelah diresmikan pembukaannya oleh Menteri Riset dan Teknologi Dr AS Hikam. Pembangunan radar ini dipicu oleh pemahaman para ahli bahwa secara khusus, atmosfer di atas wilayah Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda dengan atmosfer di wilayah khatulistiwa lainnya. Hal ini dimungkinkan karena letak geografisnya yang unik, diapit antara dua benua besar (Asia dan Australia) dan dua samudera besar (Pasifik dan Hindia) yang dikenal sebagai benua maritim. Wilayahnya yang 2/3 terdiri dari lautan dan tersebar di antara kurang lebih 17.000 pulau (sebagai suatu kawasan archipelago) memungkinkan kawasan ini sebagai penyimpan bahang (panas) baik berupa bahang sensible maupun laten terbesar bagi pembentukan awan-awan raksasa yang dikenal sebagai awan kumulonimbus (Cb). Kawasan ini juga dianggap sebagai mesin pembangkit terjadinya perubahan iklim global, seperti peristiwa EL-Nino dan La-Nina yang erat kaitannya dengan masalah kering dan banjir, pergeseran arus laut antara Samudera Pasifik dan Hindia, pergeseran musim hujan dari kondisi normal, pembakaran biomassa (seperti kebakaran hutan) yang akhir-akhir ini melanda sebagian kawasan Indonesia seperti yang terjadi di daerah Kalimantan dan Sumatera. Hal tersebut pada akhirnya memberi dampak negatif yang sangat luas terhadap roda perekonomian kita.

Peranan ICEAR
Mengingat demikian besarnya peranan kawasan di atas ekuator Indonesia terhadap perubahan iklim global,tidaklah mengherankan jika kawasan ini menjadi pusat perhatian dunia. Hal ini pulalah yang mendorong Lapan dan RASC Universitas Kyoto pada pertengahan tahun 1980-an mengembangkan gagasan dan upaya bersama untuk membangun International Center for Equatorial Atmosphere Research (ICEAR) di Indonesia. ICEAR dimaksudkan sebagai wadah kerja sama internasional dalam masalah pengamatan secara intensif, tepat dan sistematik terhadap atmosfer ekuator. ICEAR tidak hanya melakukan pengukuran dan pemantauan atmosfer semata, melainkan juga analisis data dan penyediaan basis data yang berfungsi sebagai pusat pelayanan bagi penyelenggaraan pelatihan ilmiah-teknik terkait. Usaha untuk melakukan pengamatan melalui radar pengamat atmosfer sudah dimulai sejak tahun 1992 oleh Pemerintah Jepang (RASC, Universitas Kyoto) bekerja sama dengan LAPAN dan BPPT, yaitu dengan beroperasinya Boundary Layer Radar (BLR) dan Meteor Wind Radar (MWR) di Puspitek, Serpong, Jawa Barat, selain BLR yang ada di GAW (Global Atmospheric Watch) BMG, Kototabang, Sumatera Barat. Berbagai fasilitas serupa juga dibangun seperti MF (Middle Frequency) radar dan NPR (New Pontianak Radar) yang merupakan hasil kerja sama antara RASC, Lapan dan Universitas Adelaide, Australia. Sementara itu pembangunan jaringan radar pengamat atmosfer juga dilakukan oleh National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Amerika Serikat melalui Trans Pacific Network yang mengoperasikan lima buah Wind Profiler Radar (WPR) di lima wilayah sepanjang ekuator mulai dari Peru hingga Biak, Indonesia. Meski telah ditunjang oleh fasilitas yang sedemikian banyak, ternyata masih dibutuhkan lagi data atmosfer radar di Indonesia, terbukti dengan dibangunnya Radar Atmosfer Khatulistiwa di Kototabang, Sumatera Barat. Spesifikasi radar atmosfer khatulistiwa Radar Atmosfer Khatulistiwa (RAK) yang tidak lain merupakan pengembangan dari BLR merupakan Doppler Pulse monostatik radar yang beroperasi pada frekuensi sekitar 47 MHz dengan menggunakan three-element Yagi antenna squared array sebanyak 560 buah pada ketinggian kurang lebih 900 m di atas permukaan laut. Kelebihan radar ini dibandingkan dengan radar di Indonesia lainnya adalah dia menggunakan antena putar sehingga dalam operasinya dapat diputar ke segala arah, asalkan masih dalam radius 30 derajat dari sumbu vertikal. Alat ini dirancang khusus untuk memantau arah dan kecepatan angin dan turbulensi secara kontinu mulai lapisan 1.5 hingga 20 km (lapisan troposfer dan bawah stratosfer) dalam arah tiga dimensi (vertikal, meridional, dan zonal) dalam selang waktu menit-an untuk setiap ketinggian 150 hingga 300 meter. Selain itu juga radar ini mampu mendeteksi fenomena elektromagnetik yang terjadi pada lapisan sekitar 100 km. Hal yang patut diketahui adalah radar ini dibuat hampir menyerupai MU (Middle and Upper atmosphere) radar yang ada di Shigaraki, Jepang, baik dari sistem antena yang dipakai maupun frekuensi yang digunakan. Aplikasi data radar atmosfer khatulistiwa Radar Atmosfer Khatulistiwa (RAK) yang dirancang khusus mendeteksi angin mulai dari lapisan 1,5 hingga 20 km, diharapkan dapat melengkapi data atmosfer radar yang telah ada. Salah satunya adalah pengamatan Quasi Biennial Oscillation (QBO) yang merupakan salah satu parameter penting dalam pendugaan datangnya ENSO (El-Nino and Southern Oscillation) di Indonesia. Kekurangan yang terjadi saat ini adalah minimnya data vertikal atmosfer yang ada. Padahal kita tahu bahwa ada keterkaitan yang erat antara fenomena yang terjadi di lapisan stratosfer/troposfer dengan lapisan di bawahnya yang dikenal sebagai proses penjalaran gelombang. Peristiwa QBO yang terjadi di atas lapisan troposfer dengan menggunakan data radiosonde Singapura merupakan salah satu contoh yang baik untuk kita kaji. Masalahnya sekarang apakah RAK mampu menggantikan peranan Singapura dalam memantau QBO di kawasan barat Indonesia. Sebab, data yang didapat stasiun Singapura diambil dari data radiosonde yang memiliki selang pengamatan antara enam hingga 12 jam. Kalau hal ini kita aplikasikan ke masalah gelombang atmosfer yang orde-nya menit-an, maka hal ini sulit untuk dilakukan. Oleh karena itu dengan memanfaatkan data RAK yang juga orde-nya menit-an tadi, diharapkan masalah penjalaran gelombang atmosfer dapat dijelaskan. Demikian pula proses QBO, sepertinya baru dapat dijelaskan setelah kita mendapatkan data RAK minimal setelah 27 bulan pengamatan, sesuai dengan periodisitas QBO itu sendiri. Memang membutuhkan waktu yang relatif lama, namun ini adalah rentetan proses yang kita lalui. Apabila masalah ini dikaji dengan baik dan benar berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan, maka tidak menutup kemungkinan prediksi datangnya ENSO pada waktu mendatang dapat dilakukan lebih akurat. Ini hanyalah salah satu aplikasi praktis dari pemanfaatan data RAK. Masih banyak aplikasi praktis lainnya, seperti bagimana kita mengantisipasi arah dan kecepatan angin, baik sebelum maupun sesudah peristiwa kabut asap tebal (haze) terjadi. Hal serupa juga dapat kita lakukan ketika terjadi kebakaran hutan (forestfire). Selain itu juga laju penyebaran gas-gas polutan, baik arah vertikal maupun horizontal dapat diamati melalui besaran Turbulence Energy Dissipation Rate (TEDR) maupun Vertical Eddy Diffusifity (VED) yang kesemuanya diturunkan dari data RAK setelah nantinya dilengkapi dengan data Radio Acoustic Sounding System (RASS). Selain itu dapat juga penentuan awal musim tanam yang erat kaitannya dengan peristiwa monsoon yang memang dominan terjadi di kawasan Indonesia bagian barat dapat diturunkan. Kesemua itu barulah data yang diturunkan dari besaran Doppler shift. Dari data echo power dapat diturunkan besaran stabilitas atmosfer yang penting untuk mengetahui besaran laju perubahan suhu potensial terhadap ketinggian.

Belum lagi masalah konveksi yang sangat mungkin dapat diturunkan dari data Doppler shift dan echo power seperti yang pernah dilakukan rekan Hashiguchi dkk (1995) dari RASC, Universitas Kyoto, Jepang, dengan menggunakan data BLR Sepong. Hal yang amat penting nantinya adalah setelah RAK dilengkapi dengan data RASS yang mampu mendeteksi besaran suhu virtual dengan menggunakan gelombang suara. Dari besaran suhu virtual itulah maka dapat diturunkan besaran kandungan uap air sebagai suatu parameter untuk mengamati kawasan Indonesia barat yang kaya dengan awan-awan penghasil hujan. Hal ini tidak menutup kemungkinan bagi kita untuk dapat menginvestigasi bilamana datangnya anomali curah hujan di kawasan Indonesia bagian barat, khususnya untuk kawasan Sumatera Barat. Idealnya memang sebelum data RAK itu dapat langsung diaplikasikan ke lintas sektoral, seperti pertanian, perkebunan atau kehutanan, sebaiknya dibandingkan dahulu hasilnya dengan model iklim Indonesia hasil keluaran CSIRO (Australia) yang didasarkan pada Global Circulation Model (GCM) atau Limited Area Model (LAM)yang saat ini dikembangkan bagian Pemodelan Iklim Lapan-Bandung. Selain itu memang benar, kalau hanya RAK semata, maka tidak banyak informasi yang dapat kita peroleh. Oleh karena itu peran aktif seluruh radar ekuator, baik yang berada di Indonesia, maupun di luar Indonesia mutlak diperlukan. Perlu diingat bahwa RAK adalah salah satu mata rantai pemantauan iklim global, khususnya untuk kawasan ekuator. Untuk melengkapi data RAK yang ada, maka saat ini sedang dioperasikan peralatan seperti, radiometer, optical rain gauge (org), Micro Rain Radar (MRR), Global Position Satellite (GPS) sonde, dan microbarograph. Sementara itu, X-band rain radar. Dengan beroperasinya radar tersebut tentunya telah menumbuhkan harapan baru, tidak saja bagi masyarakat Sumatera Barat ataupun rakyat Indonesia, melainkan juga bagi masyarakat internasional. Oleh karena itu menjadi tugas kita bersama untuk memanfaatkan kehadiran radar ini seoptimal mungkin. Banyak cara menuju ke arah sana, satu di antaranya melalui kerja sama, baik dalam maupun luar negeri, khususnya dengan pihak RASC Universitas Kyoto, Jepang, ataupun pihak terkait lainnya.

DR EDDY HERMAWAN
Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim,
Lapan, Bandung


Related Posts



0 komentar:

Posting Komentar

Indonesia's Success Story

-::[AIRCRAFT CARRIER INDONESIA]::-

Recent Posts

Jet Airliner N 2130

 

NIAS SPACEPORT

Morotai Spaceport

Biak Spaceport