Dalam bahasa Indonesia, kata mempelai lazim digunakan untuk menyebut pasangan yang menikah, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, jarang diketahui bahwa kata ini kemungkinan memiliki akar yang jauh dari tanah Nusantara, yaitu dari istilah Mappila yang berkembang di Kerala, India Selatan. Hubungan historis antara komunitas Mappila dan dunia Melayu-Nusantara menjadi pintu masuk bagi teori etimologi ini.
Komunitas Mappila dikenal sebagai salah satu kelompok Muslim tertua di Asia Selatan. Mereka terbentuk sejak abad ke-7 Masehi sebagai hasil dari interaksi perdagangan dan penyebaran Islam di pesisir Malabar. Para pedagang Arab dan Persia yang menikah dengan penduduk lokal melahirkan komunitas baru yang disebut Mappila. Seiring waktu, istilah ini melekat bukan hanya sebagai penanda etnis, tetapi juga sebagai sebutan kehormatan.
Dalam catatan sejarah, istilah Mappila awalnya berarti “anak yang agung” atau “anak terhormat.” Gelar ini kemudian digunakan untuk menyebut para menantu atau mempelai dalam upacara pernikahan. Pergeseran makna ini memperlihatkan bagaimana istilah sosial berkembang mengikuti dinamika budaya dan pergaulan antarbangsa.
Sumber Portugis pada abad ke-16, seperti Duarte Barbosa, menyebut komunitas Muslim Kerala dengan istilah “Moors Mopulars.” Catatan semacam ini memperlihatkan bagaimana Mappila sudah lama dikenal dalam lintasan sejarah global, khususnya melalui perdagangan rempah-rempah yang menghubungkan India dengan dunia Islam dan Nusantara.
Interaksi intensif antara pedagang Gujarat, Arab, dan Mappila dengan pelabuhan-pelabuhan di Nusantara membuka jalur bagi pertukaran bahasa. Banyak istilah asing yang masuk ke kosa kata Melayu, lalu diwarisi oleh bahasa Indonesia modern. Salah satu yang diperkirakan masuk adalah kata mempelai yang punya akar hubungan dengan Mappila.
Etimologi ini semakin masuk akal jika melihat konteks budaya perkawinan dalam tradisi maritim. Di Kerala, istilah Mappila kerap merujuk pada pengantin baru, menantu, atau pasangan yang resmi masuk ke dalam sebuah keluarga. Sementara di Nusantara, mempelai dipakai persis dengan fungsi semacam itu: menunjuk pasangan pengantin.
Proses fonetis dalam bahasa Melayu juga memungkinkan transformasi Mappila menjadi mempelai. Perubahan bunyi vokal dan konsonan kerap terjadi ketika sebuah istilah asing diserap. Misalnya, akhiran “-a” pada Mappila bisa berubah menjadi “-ai,” sedangkan penyebutan “pp” bergeser menjadi “mp.” Hasil akhirnya adalah kata mempelai yang lebih sesuai dengan fonologi lokal.
Selain soal bunyi, masuknya istilah asing ke dalam bahasa Nusantara juga selalu disertai proses penyesuaian makna. Ketika Mappila bermakna menantu atau mempelai di Kerala, masyarakat Melayu pun menyerap kata itu sesuai kebutuhan budaya mereka. Proses semacam ini bukan hal asing, sebab banyak kata dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab, Persia, Portugis, dan India.
Hubungan pernikahan juga seringkali menjadi sarana asimilasi antarbangsa. Para pedagang Muslim dari Malabar yang menetap di pesisir Sumatra, Jawa, atau Malaka, membawa serta tradisi dan istilah mereka. Tidak menutup kemungkinan, istilah Mappila menjadi salah satu warisan linguistik dari hubungan perkawinan lintas etnis tersebut.
Pengaruh bahasa Malayalam dan tradisi Islam Kerala terhadap bahasa Melayu memang jarang dikaji. Namun, jalur perdagangan rempah antara Malabar, Gujarat, dan Nusantara memberi ruang besar bagi pertukaran budaya. Dari jalur inilah kemungkinan besar istilah Mappila bertransformasi menjadi mempelai.
Dalam kajian linguistik historis, kesamaan fungsi makna menjadi petunjuk penting. Baik di Kerala maupun di Nusantara, istilah yang dimaksud sama-sama merujuk pada pasangan pengantin. Konsistensi makna ini memperkuat dugaan bahwa mempelai bukan sekadar kebetulan, melainkan jejak pinjaman dari istilah Mappila.
Sementara itu, teori lain menyebut mempelai berasal dari bahasa Jawa Kuno atau Sanskerta. Namun, perbandingan dengan istilah Mappila di Kerala memberi dimensi baru dalam memahami asal-usul kata ini. Bisa jadi, bahasa Nusantara menyerap pengaruh dari dua jalur sekaligus: India Utara melalui budaya Sanskerta, dan India Selatan melalui jaringan Islam Malabar.
Keterkaitan ini juga menunjukkan betapa eratnya hubungan dunia Melayu dengan dunia India sejak berabad-abad lalu. Hubungan itu tidak hanya terbatas pada perdagangan, tetapi juga pada pembentukan kosakata, seni, hingga sistem sosial yang bertahan sampai kini.
Dalam tradisi lisan masyarakat Melayu, istilah mempelai selalu hadir dalam upacara adat. Misalnya dalam pantun pernikahan atau doa selamat, kata itu menjadi simbol sakral dari peristiwa penyatuan dua keluarga. Tradisi ini seolah menggemakan fungsi asli istilah Mappila yang bermakna menantu terhormat.
Dari sisi sejarah Islam, pernikahan memang menjadi salah satu sarana utama penyebaran agama. Banyak tokoh ulama dan pedagang Muslim yang menikah dengan penduduk lokal. Hal ini memperkuat posisi istilah mempelai sebagai simbol ikatan budaya sekaligus agama.
Pengaruh istilah asing dalam bahasa Indonesia seringkali tak disadari masyarakat. Padahal, hampir setiap kata dalam ranah agama, perdagangan, dan peradaban memiliki akar yang panjang. Kata mempelai hanyalah salah satu contoh bagaimana bahasa menjadi saksi perjalanan sejarah global.
Sejumlah pakar linguistik menyarankan perlunya penelitian lebih mendalam mengenai hubungan bahasa Malayalam dan bahasa Melayu. Kajian filologis, naskah kuno, dan tradisi lisan bisa menjadi kunci untuk menelusuri jejak pinjaman kata seperti mempelai.
Terlepas dari perdebatan akademis, teori asal-usul kata mempelai dari Mappila membuka cakrawala baru. Ia memperlihatkan betapa eratnya keterhubungan budaya India Selatan dengan dunia Melayu-Nusantara. Lebih jauh, hal ini menunjukkan bahwa identitas bahasa Indonesia dibentuk dari pertemuan banyak peradaban.
Dengan demikian, kata mempelai yang kini akrab kita dengar dalam setiap pesta pernikahan, sesungguhnya membawa kisah panjang lintasan sejarah. Dari pantai Malabar hingga ke Malaka, dari pedagang Mappila hingga masyarakat Melayu, sebuah kata menyimpan memori perjumpaan antarbangsa.
Jika benar mempelai berasal dari Mappila, maka setiap upacara pernikahan di Indonesia tanpa disadari sedang menggemakan warisan budaya yang melintasi samudra. Kata ini menjadi pengingat bahwa bahasa adalah jejak peradaban, dan setiap kata menyimpan sejarah yang jauh lebih luas dari sekadar bunyi.
Dibuat oleh AI, baca selanjutnya
0 komentar:
Posting Komentar