Wacana Damai Israel-Suriah Sarat Kepentingan Licik

Israel kembali menggulirkan wacana normalisasi hubungan dengan Suriah di tengah pembantaian brutal yang masih berlangsung di Gaza. Di saat dunia mengecam keras aksi militer Israel yang tak kunjung berhenti, Tel Aviv justru melontarkan narasi perdamaian baru. Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Sa’ar, menyatakan bahwa normalisasi bisa terjadi asal satu syarat mutlak dipenuhi: Golan tetap berada di tangan Israel. Sikap ini langsung memicu kecaman banyak pihak yang melihatnya sebagai strategi penjajahan terselubung dengan balutan diplomasi semu.

Bukan pertama kalinya Israel memainkan taktik "damai bersyarat" seperti ini. Sejumlah pengamat mengaitkan langkah tersebut dengan sejarah panjang perjanjian-perjanjian damai sebelumnya yang ujung-ujungnya digunakan untuk memperkuat ambisi geopolitik Israel, bukan untuk menciptakan perdamaian sejati. Oslo Accord pada awal 1990-an misalnya, dinilai gagal total karena hanya memberi legitimasi internasional kepada Israel, tanpa Israel pernah benar-benar mengakui hak Palestina sebagai negara merdeka.

Dalam praktiknya, Oslo justru dijadikan dasar untuk membagi wilayah Palestina menjadi zona A, B, dan C, yang memperkuat kontrol militer Israel di Tepi Barat. Pengunduran diri militer Israel yang dijanjikan hanya menjadi formalitas, sementara blokade, penangkapan massal, dan ekspansi permukiman Yahudi terus berjalan. Hal serupa dikhawatirkan terjadi terhadap Suriah, terlebih jika Golan Heights tidak dikembalikan sebagaimana mandat internasional yang jelas menegaskan wilayah itu sebagai milik Suriah.

Perjanjian Abraham juga menjadi bukti lain bahwa normalisasi dengan Israel tidak lebih dari sarana memperluas pengaruh politik dan militernya di kawasan. Negara-negara Arab yang tergabung dalam perjanjian tersebut justru tidak mendapatkan imbal balik yang signifikan dalam penyelesaian isu Palestina. Sebaliknya, Israel semakin leluasa memperkuat aliansi strategis, memperluas aktivitas intelijen, dan memajukan proyek Greater Israel yang secara historis telah menjadi obsesi kelompok-kelompok sayap kanan di dalam negeri.

Di internal Israel sendiri, terdapat banyak partai politik yang secara terbuka menolak Oslo Accord dan mendukung gagasan Greater Israel. Partai seperti Likud, yang kini berkuasa di bawah Netanyahu, secara ideologis tidak pernah sepenuh hati menerima gagasan dua negara. Demikian pula Partai Religius Zionis dan Otzma Yehudit yang lebih ekstrem, bahkan menyerukan aneksasi penuh atas wilayah Palestina dan penolakan total terhadap negara Palestina. Ini membuat upaya perdamaian selalu berjalan pincang sejak awal.

Situasi ini diperparah oleh kenyataan bahwa politik Israel sangat tergantung pada koalisi. Partai-partai kecil yang ultranasionalis memiliki kekuatan tawar yang tinggi dan kerap menjadi penentu kebijakan luar negeri. Hal inilah yang membuat setiap janji damai yang ditandatangani selalu berada dalam ancaman pembatalan sewaktu-waktu, tergantung pada dinamika politik dalam negeri Israel. Kepercayaan terhadap stabilitas perjanjian pun semakin menipis di mata dunia Arab.

Suriah, sebagai pihak yang pernah kehilangan wilayahnya akibat pendudukan Israel pada 1967, berada dalam posisi sangat rentan. Jika normalisasi dengan Israel dilakukan tanpa syarat pengembalian Golan, maka Damaskus berisiko mengulangi kesalahan yang dilakukan beberapa negara Arab lain yang masuk ke dalam Abraham Accord. Israel akan memperoleh legitimasi penuh atas tanah curian, sementara Suriah tidak mendapatkan pengakuan kedaulatan yang setimpal.

Kondisi ini memicu kekhawatiran luas bahwa Suriah akan menjadi korban berikutnya dari permainan damai semu Israel. Transformasi Golan menjadi "taman damai" seperti yang dilontarkan sumber media Israel terdengar seperti penghalusan istilah aneksasi. Dalam sejarah konflik Israel-Arab, istilah-istilah manis seperti "zona damai", "keamanan bersama", atau "tata kelola bersama" seringkali berujung pada penjajahan permanen.

Di balik wacana normalisasi, terdapat perhitungan geopolitik yang cermat dari Tel Aviv. Usaha untuk memperluas Abraham Accord ke Suriah dilakukan berbarengan dengan target mengakhiri perang Gaza secara sepihak dan menekan Hamas. Israel berupaya membentuk koalisi Arab baru yang bisa digunakan untuk menutup babak lama konflik Palestina dan membuka "era perdamaian baru" yang justru membungkam hak-hak historis bangsa Arab.

Netanyahu bahkan menyebut kemenangan atas Iran sebagai jalan pembuka menuju ekspansi perjanjian damai yang lebih luas. Dalam narasi ini, damai bukan tujuan, melainkan alat untuk menuntaskan proyek dominasi kawasan. Sikap ini semakin menguatkan persepsi bahwa setiap proses damai yang digagas Israel pada dasarnya bersyarat, transaksional, dan tidak berdasar pada keadilan. Perjanjian apapun yang tidak didasari pengembalian tanah yang dicaplok hanya akan memperpanjang konflik laten.

Dari sisi Suriah, belum ada pernyataan resmi mengenai kebenaran wacana ini. Namun banyak analis memperkirakan bahwa pemerintah Ahmed Al Sharaa tidak akan mudah tergiur dengan tawaran semu jika tidak diikuti dengan pengembalian penuh wilayah Golan. Apalagi di tengah meningkatnya dukungan negara Teluk kepada Suriah dalam berbagai sektor, termasuk militer dan energi, yang memberikan ruang manuver diplomatik lebih besar bagi Damaskus.

Warga Suriah sendiri sebagian besar masih menganggap Golan sebagai harga mati yang tidak bisa ditukar dengan janji diplomasi. Kerugian sejarah yang mereka alami terlalu besar untuk dimaafkan begitu saja dalam sebuah perjanjian normalisasi yang menyembunyikan kepentingan penjajahan. Bahkan banyak kalangan sipil dan militer menyatakan bahwa Suriah harus belajar dari pengalaman Palestina, agar tidak mengulangi jebakan yang sama.

Tekanan dari Amerika Serikat dan rencana lawatan Netanyahu ke Washington menjadi sinyal kuat bahwa diplomasi gaya baru sedang dibentuk di belakang layar. Namun, jika perdamaian hendak dibangun di atas puing-puing Gaza dan derita Palestina, maka wacana itu akan terus diragukan. Perdamaian sejati tidak mungkin lahir dari senjata yang masih berasap dan dari tanah yang masih dirampas.

Dunia internasional juga perlu bersikap kritis terhadap skema normalisasi yang ditawarkan Israel. Mekanisme damai yang adil seharusnya menjunjung hukum internasional, termasuk pengembalian wilayah pendudukan, pengakuan kedaulatan penuh, serta penghormatan terhadap hak pengungsi. Selama prinsip-prinsip itu diabaikan, maka semua perjanjian hanya akan menjadi pengukuhan penjajahan dengan nama baru.

Kondisi ini membuka mata banyak negara Arab bahwa waktu untuk kembali mengevaluasi seluruh isi dan dampak perjanjian damai dengan Israel telah tiba. Banyak pihak mulai menyadari bahwa Israel bukan sekadar mitra ekonomi atau diplomatik, melainkan aktor strategis yang tak segan mengingkari komitmen bila dirasa tidak menguntungkan secara politik. Ini menjadi tantangan besar bagi integritas kawasan Timur Tengah.

Akhirnya, perdamaian sejati tidak cukup dengan penandatanganan perjanjian atau foto bersama di meja bundar diplomasi. Perdamaian membutuhkan kejujuran, pengakuan atas penderitaan masa lalu, dan komitmen pada keadilan yang menyeluruh. Selama Israel masih menjadikan perjanjian sebagai alat strategi dan bukan tujuan etis, maka dunia akan terus menyaksikan tragedi-tragedi kemanusiaan yang dilabeli dengan nama "normalisasi".

About newsonline

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Posting Komentar